1.1 Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan
kesal atau marah yang tidak konstruktif (Stuart dan Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan merupakan respons terhadap stressor yang dihadapi
oleh seseorang, yang ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan,
baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun
nonverbal, bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis
(Berkowitz, 2000).
Suatu keadaan di mana seorang individu mengalami perilaku yang dapat
melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain (Towsend,
1998).
Sedangkan menurut Maramis (2004), perilaku kekerasan adalah suatu
keadaan di mana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri,
lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang.
1.2 Etiologi
Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga
diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana
gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri
sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
1.3 Faktor Predisposisi
a.
Teori Biologik
1.
Faktor neurologis, beragam
komponen dari sistem syaraf seperti sinaps, neurotransmitter, dendrit, axon
terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan
pesan-pesan yang akan memengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif.
2.
Faktor genetik, adanya faktor
gen yang diturunkan melalu orang tua, menjadi potensi perilaku agresif. Menurut
riset Kazuo Murakami (2007) dalam gen manusia terdapat potensi agresif yang
sedang tidur dan akan bangun jika terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut
penilitian genetik tipe karyo-type XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni
pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku
agresif.
3.
Irama sirkadian tubuh, memegang
peranan pada individu. Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia
mengalami peningkatan cortisol terutama pada jam-jam sibuk seperti menjelang
masuk kerja dan menjelang berakhirnya pekerjaan sekitar jam 9 dan jam 13. Pada
jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap agresif.
4.
Faktor biokimia tubuh, seperti
neurotransmitter di otak (epinephrin, norepinephrin, dopamin, asetilkolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem
persyarafan dalam tubuh, adanya stimulasi dari luar tubuh yang dianggap
mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui impuls neurotransmitter ke
otak dan meresponnya melalui serabut efferent. Peningkatan hormon androgen dan
norepinephrin serta penurunan serotonin dan GABA pada cairan serebrospinal
vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif.
5.
Brain Area disorder, gangguan
pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom otak organik, tumor otak, trauma
otak, penyakit ensefalitis, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b.
Teori Psikologik
1.
Teori Psikoanalisa
Agresivitas
dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang seseorang (life
span hystori). Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak
tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan air susu yang cukup cenderung
mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai kompensasi
adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan
rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
yang rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakbedayaannya dan rendahnya harga diri pelaku
tindak kekerasan.
2.
Imitation, modeling, and
information processing theory
Menurut
teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang menolelir
kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau
lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu
penelitian beberapa anak dikumpulkan
untuk menonton tayangan pemukulan pada boneka dengan reward positif (makin
keras pukulannya akan diberi coklat). Setelah anak-anak keluar dan diberi
boneka ternyata masing-masing anak berperilaku sesuai dengan tontonan yang pernah
dialaminya.
3.
Learning theory
Perilaku
kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadaop lingkungan terdekatnya. Ia
mengamati bagaimana respons ayah saat menerima kekecewaan dan mengamati
bagaimana respons ibu saat marah. Ia juga belajar bahwa dengan agresivitas
lingkungan sekitar menjadi peduli, bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa
dirinya eksis dan patut untuk
diperhitungkan.
c.
Teori Sosiokultural
Dalan budaya
tertentu seperti rebutan berkah, rebutan
uang receh, sesaji atau kotoran kerbau di keraton, serta ritual-ritual yang
cenderung mengarah pada kemusyrikan secara tidak langsung turut memupuk sikap
agresif dan ingin menang sendiri.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan
sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor
predisposisi terjadinya perilaku kekerasan. Hal ini dipicu juga dengan maraknya
demonstrasi, film-film kekerasan, mistik, tahayul dan perdukunan (santet, teluh)
dalam tayangan televisi.
d.
Aspek Religiusitas
Dalam tinjauan
religiusitas, kemarahan dan agresivitas merupakan dorongan dan bisikan syetan
yang sangat menyukai kerusakan agar manusia menyesal (devil support). Semua
bentuk kekerasan adalah bisikan syetan melalui pembuluh darah ke jantung, otak
dan organ vital manusia lain yang dituruti manusia sebagai bentuk kompensasi
bahwa kebutuhan dirinya terancam dan harus
segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal (ego) dan norma agama
(super ego).
1.4 Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali
berkaitan dengan :
1.
Ekspresi diri, ingin
menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah
konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal dan sebagainya.
2.
Ekspresi dari tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3.
Kesulitan dalam
mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog untuk
memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4.
Ketidaksiapan seorang ibu dalam
merawat anaknya dan ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang yang
dewasa.
5.
Adanya riwayat perilaku anti
sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol
emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
6.
Kematian anggota keluarga yang
terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan
tahap perkembangan keluarga.
1.5 Tanda dan Gejala
Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala
perilaku kekerasan :
1.
Fisik
a)
Muka merah dan tegang
b)
Mata melotot atau pandangan
tajam
c)
Tangan mengepal
d)
Rahang mengatup
e)
Wajah memerah dan tegang
f)
Postur tubuh kaku
g)
Pandangan tajam
h)
Mengatupkan rahang dengan kuat
i)
Mengepalkan tangan
j)
Jalan mondar-mandir
2.
Verbal
a)
Bicara kasar
b)
Suara tinggi, membentak atau
berteriak
c)
Mengancam secara verbal atau
fisik
d)
Mengumpat dengan kata-kata
kotor
e)
Suara keras
f)
Ketus
3.
Perilaku
a)
Melempar atau memukul
benda/orang lain
b)
Menyerang orang lain
c)
Melukai diri sendiri/orang lain
d)
Merusak lingkungan
e)
Amuk/agresif
4.
Emosi
5.
Tidak adekuat, tidak aman dan
nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan,
mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
6.
Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat,
meremehkan, sarkasme.
7.
Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri
benar, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak
peduli dan kasar.
8.
Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan,
kekerasan, ejekan, sindiran.
9.
Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri,
penyimpangan seksual.
1.6 Proses Terjadinya Masalah
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah merupakan
bagian kehidupan sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat
menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan
terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan yang mengarah pada perilaku
kekerasan. Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun
internal. Secara eksternal dapat berupa perilaku kekerasan sedangkan secara
internal dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.
Mengekspresikan marah dengan perilaku
konstruktif dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima
tanpa menyakiti orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu runkan
ketegangan, sehingga perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000).
0 komentar:
Post a Comment