A. Latar Belakang
Abortus adalah
berakhirnya masa kehamilan sebelum anak dapat hidup didunia luar (Mochtar,
2000). Anak dapat hidup di dunia luar bila beratnya telah mencapai 1000 gram
atau umur kehamilan 28 minggu. Pengeluaran atau ekstraksi janin atau embrio
yang berbobot 500 gram atau kurang dari ibunya yang kira-kira berumur 20 sampai
22 minggu kehamilan (Sarwono, 2007).
Kejadian abortus sulit diketahui, karena sebagian besar
tidak dilaporkan dan banyak dilakukan atas permintaan. Keguguran spontan
diperkirakan sebesar 10% sampai 15%. Biasanya kejadian keguguran dilaporkan
dalam angka kaguguran (abortion rate).
Angka keguguran ialah jumlah keguguran dalam setiap 1000 kelahiran hidup.
Dilaporkan besar angka keguguran berkisar antara 8,3 sampai 15%. Angka ini
diperkirakan lebih kecil daripada yang sebenarnya berdasarkan alasan-alasan di
atas. Angka keguguran ini bersifat umum dan tidak memperhitungkan semua
keguguran yang terjadi sejak kehamilan yang pertama. Angka keguguran yang
spesifiklah jumlah keguguran dalam setiap 1000 kehamilan dihitung sejak
kehamilan yang pertama pada setiap wanita yang pernah hamil pada satu populasi
tertentu (Manuaba, 1998).
1
|
Di
Indonesia, diperkirakan sekitar 2 - 2,5 % juga mengalami keguguran setiap
tahun, sehingga secara nyata dapat menurunkan angka kelahiran menjadi 1,7
pertahunnya (Manuaba, 2001). Kejadian abortus diduga mempunyai efek terhadap
kehamilan berikutnya, baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil
kehamilan itu sendiri. Wanita dengan riwayat abortus mempunyai risiko yang
lebih tinggi untuk terjadinya persalinan prematur, abortus berulang, dan berat
badan lahir rendah (BBLR) (Cunningham, 2005).
Penyebab
abortus ada tiga faktor yaitu, faktor maternal, faktor janin dan faktor
paternal, faktor lingkungan salah satunya perokok pasif yaitu karena adanya
gangguan oksigenasi (Soetjiningsih, 2002). Menurut Departemen Kesehatan
gangguan oksigenasi pada masa janin akibat dari ibu selama hamil terpapar asap
rokok (Depkes, 2006).
Data Global Youth Survey
1999-2006, sekitar 57% rumah tangga di Indonesia rata-rata terdapat satu orang
perokok aktif, dimana anggota keluarga lainnya akan menjadi perokok pasif yang
terpaksa harus menghirup asap rokok dari orang yang merokok. Data Survei Sosial
Ekonomi Nasional 2004 menunjukkan, lebih dari 87% perokok aktif merokok di
dalam rumah ketika sedang bersama anggota keluarganya. Rokok mengandung sekitar
4.000 zat beracun yang bisa merusak kesehatan, hingga menyebabkan kematian.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004 juga menunjukkan rokok telah
menyumbang 9,8% angka kematian di Indonesia, termasuk di dalamnya komplikasi
kehamilan pada Ibu hamil (Susenas, 2004).
Akibat merokok diperkirakan bahwa
angka kematian sebanyak 350.000 per tahun lebih banyak dari pada kehilangan
total jiwa orang di Amerika dalam perang dunia I, Korea dan Vietnam. Prevalensi perokok pasif cenderung mengalami peningkatan seiring
dengan peningkatan prevalensi perokok. Di Indonesia, lebih separuh (57%) ibu rumah
tangga mempunyai sedikitnya satu orang perokok, dan hampir semua perokok
(91,8%) merokok di dalam rumah.
Prevalensi perokok pasif laki-laki di Indonesia 31,8% dan perempuan 66%. Di
setiap provinsi di Indonesia perokok pasif pada perempuan lebih tinggi dari pada
laki-laki. Prevalensi perokok pasif pada perempuan yang telah menikah mencapai
70,4% (Susenas, 2003).
Berdasarkan
data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2010) Provinsi Aceh didapat bahwa
perokok saat ini yang tergolong perokok setiap hari (31,9%), kadang-kadang
(5,2%) dan yang tidak merokok tergolong
mantan perokok (3,5%) dan bukan perokok (59,4%). Sedangkan menurut (Rikesdas,
2007) anak Aceh yang berusia 10 tahun ke atas, sebanyak 29,7% tercatat sebagai
perokok aktif, ini bisa diartikan generasi muda Aceh pada masa yang akan datang
akan menjadi generasi pecandu narkoba, karena 90% pengguna narkoba sebelumnya
adalah perokok.
Upaya yang telah dilakukan
pemerintah dalam mengatasi perokok yaitu pengamanan rokok
bagi kesehatan perlu dilaksanakan dengan pemberian informasi tentang kandungan
kadar nikotin yang ada pada setiap batang rokok, pencantuman peringatan pada
label, pengaturan produksi dan penjualan rokok dan periklanan serta promosi rokok.
Selain itu, perlu ditetapkan pula kawasan tanpa rokok pada tempat umum, sarana
kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses
belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum. Dalam
Peraturan Pemerintah ini, iklan dan promosi rokok hanya dapat dilakukan dengan
persyaratan tertentu yang ditetapkan. Ketentuan mengenai iklan tersebut juga
harus memperhatikan ketentuan Pasal 46 ayat (3) huruf c Undang-undang Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran. Peran masyarakat dalam upaya pengamanan rokok
bagi kesehatan perlu ditingkatkan agar terbentuk kawasan tanpa rokok di semua
tempat/sarana (Peraturan Pemerintah, no 19, 2003).
Kline (2012) dari
artikelnya mengemukakan mereka membandingkan merokok selama kehamilan di antara
574 wanita yang abortus secara spontan (kasus) dan 320 wanita dengan pengiriman
setelah usia kehamilan setidaknya 28 minggu (kontrol), merokok berhubungan
dengan abortus spontan. Wanita yang telah abortus secara spontan melaporkan
bahwa merokok selama kehamilan lebih sering dibandingkan dengan pengiriman
setelah usia kehamilan 28 minggu. 41% kasus dan 28% kontrol merokok,. Rasio
odds untuk asosiasi sangat signifikan dengan merokok adalah 1,8. Maka
kesimpulannya bahwa merokok selama kehamilan merupakan faktor risiko untuk
abortus spontan.
Dari hasil data diatas
maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang” Ibu Hamil Perokok Pasif dengan Risiko
Kejadian abortus di Rumah sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin tahun 2012”
0 komentar:
Post a Comment